Untukmu Sahabat (II)
Bekasi, 6 Juni 2015
Akhirnya hari ini tiba.
Hari di mana kehadirannya tak pernah
dinanti. Hari di mana sapaannya tak pernah dirindukan.
Namun, hari yang memang tanpa janji akan datang
berjabat tangan.
Hari ini hadir dengan sejuta hiasan. Hiasan
yang dengan erat peluk hangat tak mampu menenangkan, hiasan yang dengan tangis
sendu tak bisa meneduhkan. Hiasan yang hanya mampu bersatu dengan senyum penuh
keikhlasan.
Tapi bagaimana?
Kehadirannya saja tak pernah dinanti,
apalagi harus mengiringi dengan keikhlasan senyum dari hati?
Ia hanya berkata “bukankah kau sudah
memahami? Jika tawa hadir melalui fisik yang menyapa, dan dengannya hati akan
terpaut, maka, akan segera ada jabat yang harus segera dilepas. Ada peluk yang
harus segera direnggangkan. Itu sebuah keniscayaan. Jadi, bagaimana bisa
sesulit itu Kau hadirkan senyum dari hati?” ia pun menambahkan, “karena itu
hiasannya hanya bisa bersatu dengan keikhlasan. Karena itu bentuk kepercayaan,
bentuk penghormatan, kalau Kau sedang menjalani sebuah fase hidup”.
“Ketika wajah kita bertatap, ternyata hati kita telah lebih dulu menyapa. Seiring langkamu, seraya doaku, doa kita berpadu jadi satu. Semakin erat hati menggenggam, semakin dalam sayang ini terbawa. Hingga tak disadari, langkah kita harus terhenti, jabat kita harus terlepas, dan peluk kita harus merenggang. Tetapi, masih ada cahaya keimanan, yang senantiasa menyinari kita. Tak perlu wajah bertatap, tak peru peluk erat menghampiri, kita telah berpadu dalam doa. Sahabatku, kita terjalin karena cinta Sang Maha Cinta, dan ku yakin, Dia pun yang akan menjaga cinta kita, karena cinta kita adalah cinta-Nya.”
Ini memang bukan
perpisahan pertama. Tapi ini bukan kali pertama tangisan sendu mengiringinya. Kita
ada bukan tanpa cela. Kita ada bukan nihil canda. Tak jarang sinis mengiringi. Namun
di sanalah kita belajar memahami, siapa kita. Faza, Dewi, Azmah, Afiefah,
Devis, Nidaz, Hera, Wardah, Atikah, Indah dan Bila. Bukan hal mudah menyatukan
banyak kepala dalam satu atap. Tapi kita mampu melewatinya. Melewati dengan
rima yang ada. Rima tersendiri. Bukan seperti kurva sigmoid, atau kurva tumbuh
lainnya. Tetapi seperti denyutan jantung, yang terkadang cepat, terkadang
lambat dan tak jarang tanpa nada. Terima kasih sahabat-sahabat surgaku, yang
senantiasa “menjaga” ku, dan membuatku “terlihat kuat” di luar atap kita. Terima
kasih sudah diizinkan menjadi bagian dari Kalian.
_Keluarga Citra
Islamic 1_
Komentar
Posting Komentar