Senin kembali menyapa. Diiringi
riuh kicauan burung, seolah memberi tanda bahwa hari sudah siap untuk didaki.
Ah, cuaca di luar memang cerah. Bahkan bisa dibilang lebih cerah dari jam yang
seharusnya. Kulirik jam dinding yang selalu setia berdetak di rumah sederhana
ini. Dia sudah menunjukkan jarumnya pada angka 6. Angka yang sepertinya baik
untuk memupuk semangat. Tetapi tidak juga, seharusnya saat sudah genap
tunjukkannya pada angka 6, semangat tidak lagi baru dipupuk, tetapi justru
sudah seharusnya disemai. Ku sadari bahwa hari ini, genap sepekan sudah ku
bergabung bersama mereka. Ya, mereka, para pemburu waktu.
Yang tak lelah berjibaku, melangkahkan kaki sejak subuh hari, bahkan sejak ayam baru saja mengeluarkan “kukuruyuk” pertamanya. Para pemburu waktu yang selalu sigap sikut kanan, sikut kiri, dorong sana, dorong sini, hanya untuk menepati waktu. Sambil bergegas ku siapkan segala perlengkapan “perang” ku, kuucapkan dalam hati penuh harap, agar Tuhan kembali memberikan kemurahan-Nya untuk ku hari ini.
Yang tak lelah berjibaku, melangkahkan kaki sejak subuh hari, bahkan sejak ayam baru saja mengeluarkan “kukuruyuk” pertamanya. Para pemburu waktu yang selalu sigap sikut kanan, sikut kiri, dorong sana, dorong sini, hanya untuk menepati waktu. Sambil bergegas ku siapkan segala perlengkapan “perang” ku, kuucapkan dalam hati penuh harap, agar Tuhan kembali memberikan kemurahan-Nya untuk ku hari ini.
“De, sarapannya udah siap nih,
Mama tunggu di meja makan ya!” suara yang selalu mengiringi hariku, bahkan
mampu membantu menyemai semangatku. Mama, memang hanya Mama yang mampu buatku
bertahan menjalani “perang” keseharianku. “ya Ma, sebentar!” setengah berlari,
ku hampiri Mama di meja makan yang sudah siap menyambut puterinya dengan senyum
hangatnya. “waah, sarapan spesial nih Ma!” sambil senyum ku tarik kursi untuk
segera memenuhi rongga perut yang sejak tadi tak kalah riuhnya dengan kokokan
ayam di halaman belakang rumahku. Habis sudah sepiring nasi goreng kusantap
sebagai bahan bakar energiku. Segera kuletakkan tali tas pada pundak. Kucium
punggung tangan yang sudah sangat setia merawatku, dan tak lupa kecupan hangat
sebagai tanda penghargaanku padanya. “Dea berangkat dulu ya Ma,
assalamualaikum!”
Seorang ojek langgananku sudah
setia menunggu di depan gerbang. “yuk Neng, kesiangan nih?” sambil kunaiki
motornya, asal saja kujawab “iya nih Mang, makanya ngebut yaa!”. Udara sungguh
cerah, matahari sudah mulai menampakkan dirinya, memenuhi tanggung jawab yang
sudah Tuhan embankan padanya. Energi terbesar, yang tidak hanya dinanti seluruh
umat manusia, tetapi juga seluruh makhluk hidup di dunia ini. “gimana Neng
kerjanya? Enak?” pertanyaan Mang Surya memecah lamunanku. “uh, panas Mang,
kayak nama Mamang, hehe” “eh, maksudnya apa Neng?” jika saja Mang Surya paham,
terkadang pekerjaan bisa membuat seseorang merasa terbebani. Tetapi tak jarang
juga pekerjaan menjadi hobi. Lalu, pilihan mana kesanku terhadap pekerjaanku.
Ah, entahlah! Haruskah aku memutuskan itu dalam waktu hanya sepekan? “Neng, kok
diem aja?” “oh, iya Mang, maaf, lagi mkirin nih kapan gajian, biar bisa
ngebayar Mamang” kujawab dengan getir, jawaban yang tidak sama sekali menjawab
pertanyaannya.
Kini, sampai sudah di tempat yang
dituju. Suara lonceng yang sangat familiar di telingaku. Suara yang terkadang
membawa sejuta khayalku. Suara yang tak jarang membuatku mencaci. “tuh Neng,
udah dapet panggilan. Hati hati ya!” bagaikan seorang Bapak, Mang Surya
berpesan padaku. Bergaya menirukan seorang prajurit, ku letakkan tanganku pada
pelipis, seraya kujawab “siap Mang!”. Mang Surya memang lebih dari sekedar
tukang ojek langgananku, tetapi juga orang yang ternyata berkerabat dekat
dengan Ayahku. Ku langkahkan kaki menuju dalam stasiun. Ya, suara yang ku
maksud adalah suara lonceng informasi di stasiun. Terlihat sudah ratusan orang
memenuhi kereta. Hanya berselang beberapa menit, penuh sudah gerbong terisi.
Tak hanya penuh, tetapi juga berjejal, sangat berjejal. Ini yang selalu
membuatku gusar menatap masa depanku. Haruskah aku biarkan usiaku habis dengan
rutinitas semacam ini? Adakah yang mampu kubaca setiap harinya dari kejadian
ini? Ratusan orang, informasi masinis, umpatan penumpang, tatapan sinis sesama
penumpang, rintihan, dan terlalu banyak yang menurutku tidak dapat kubaca.
Bahkan informasi masinis yang sudah sangat ku hapal nada dan kalimatnya “Mohon
bagi penumpang yang tidak dapat masuk ke dalam gerbong, jangan memaksakan diri,
utamakan keselamatan diri Anda!” mulai dari peringatan halus, sampai berupa
ancaman bahwa kereta tidak akan berjalan jika pintu tidak dapat tertutup rapat.
Mama, jika bukan karena dirimu,
tak akan mau aku bersaing bersama mereka. Menghabiskan keseharianku hanya pada
rutinitas semacam itu. Ayah, andai saja tidak ku ingat semua pengorbananmu, tak
akan rela ku menjadi seorang pemburu waktu yang rela menggunakan usiaku di
kegiatan seperti ini. Mungkin, aku lebih memilih mengamalkan ilmuku di daerah
yang lebih jauh, yang memberiku lebih banyak ruang dan waktu untuk kubaca.
Belum habis pengandaianku, kembali muncul khayalan baru. Andai saja pemerintah
lebih mampu meningkatkan moda transportasi ini. Bukankah transportasi publik
yang Kalian gaung gaungkan? Ini sudah menjadi cukup bukti, bahwa transportasi
publik diminati. Tetapi mengapa tidak ditindak lanjuti lebih jauh? Terkadang
aku berpikir, sulitkah mengatur pemerintahan? Ah, cukup sudah pikirku melambung
jauh. Kembali ku tapaki hari, dan ku hadirkan diriku pada kenyataan saat ini.
Hei pemburu waktu! Kita punya
tujuan yang sama kan? Kita punya pengharapan yang sama kan? Jika aku berpikir
dari ini semua tidak ada yang dapat kubaca, sepertinya aku salah besar. Aku
mulai tersadar. Inilah kehidupan. Terkadang Tuhan memberikan konsep ujian yang
sama, hanya saja reaksi hamba-Nya yang berbeda beda. Selaiknya obat yang
diberikan pada pasien yang berbeda, tentunya menimbulkan efek yang berbeda.
Tuhan hanya ingin hamba-Nya menjalani apa yang digariskan. Dewasa seiring
berjalannya kehidupan. Tujuan kita sama, kebahagiaan menggapai ridho-Nya. Hanya
saja, mau dengan apa kita menjalaninya? Terdiam sambil meresapi, tak banyak
keluhan, itu bisa jadi penawar pada sakitnya duri yang mungkin terinjak di
perjalanan. Merintih, mengharap uluran tangan orang lain, juga bisa membuka
gerbang kebaikan pada orang lain. Bermacam ekspresi yang ditampakan sepanjang
perjalanan di dalam kereta yang penuh sesak, ku dapati diriku menjadi bagian
dari mereka. Menjadi seorang pemain. Tinggal diriku, mau memilih ekspresi apa
untuk mengiringi perjalananku?
Komentar
Posting Komentar