"tiga ribu"

di tengah riuhnya lalu lalang para pengusaha kehidupan, para pekerja yang selalu rela menghabiskan waktu hidupnya untuk mengusahakan hidup, kau berdiri di tepi.
tidak ada yang kau ucapkan, selain kata "tiga ribu". ya, hanya itu.
rutinitas para karyawan yang tiada henti, kau manfaatkan untuk berbagi. berbagi merdunya kalam illahi, indahnya lantunan surat-surat cinta sang Khalik. kau hanya berdiri di tepi, berbicara sesekali, dan hanya kalimat "tiga ribu" yang kau ucapkan, ya, hanya itu.
entah berapa lama kau sudah berdiri di tepi sana. hanya saja, di setiap langkah kepulanganku, kau selalu berada di sana. saat ku sampai di sore hari, kau berdiri di tepi. malam hari pun, kau tetap bediri di tepi. penglihatanku selalu tertuju padamu. keberadaanmu, selalu mengusik penglihatanku. ku rasa tidak hanya penglihatan indera, tetapi juga membuka gerbang empatiku.
akhirnya, hari ini, di kesekian kalinya kepulanganku, aku sempatkan untuk sejenak menghampirimu. ku niatkan sesuatu. jemariku cepat memilih kaset yang sengaja kau hampar di keranjangmu. hanya satu kaset yang ku ambil. murrotal anak. "Berapa satunya Pak?" kau pun akhirnya bersuara, "tiga ribu". tak banyak ba, bi, bu, ku keluarkan nominal yang cukup sebagai ganti kasetmu, dan ku keluarkan sesuatu yang sudah menjadi niatku.
"ini Pak", tanganmu pun perlahan mencari kembalian, bergegas ku menampik, "tidak usah dikembalikan Pak, sekalian, ini buat Bapak", ku sampaikan padanya, sambil ku simpulkan sedikit senyum. kini, katamu bertambah. ku bisa mendengar lebih dari sekedar "tiga ribu", ya, kau mengucapkan "terima kasih" diiringi sebuah anggukan. "tak perlu terima kasih Pak, aku hanya ingin membayar kebaikanmu, yang sedikit memberi kesejukan di tengah panasnya persaingan waktu, memberikan ketenangan di tengah sibuknya langkah-langkah kaki, dan memberikan kesempatan terbukanya empati di setiap kejanggalan hati, yang bisa kusebut apatis". terima kasih Pak, kau mengajarkanku sesuatu dan meneguhkan keyakinanku. mengajarkan indahnya sebuah ketekunan, dan meneguhkan keyakinan, bahwa kita hanya menjalankan kewajiban, hasilnya? biar Tuhan yang menentukan.


terinspirasi oleh seorang Kakek penjual CD Murrotal di Stasiun salah satu kota Jabodetabek. entah berapa lama dan sejak kapan beliau berikhtiar di sana. beliau hanya berdiri di tepi, dengan radio yang dikalungkan dan CD yang dihampar pada sebuah keranjang. radionya dibiarkan mengalun nada-nada indah alunan dari surat cinta sang Khalik, Alquran. jika diperkirakan, usianya mungkin sudah lebih dari separuh abad. usia yang seharusnya digunakan sebagai waktu istirahat, atau waktu yang selaiknya dinikmati. usia tidak membatasinya untuk mengikhtiarkan kehidupannya. beliau pun mengajarkanku untuk lebih meneguhkan keyakinanku pada Allah, bahwa makhluk selaiknya berusaha apapun yang bisa diusahakan. Allah tak pernah tidur, Allah yang mengatur bagaimana ikhtiarmu dibalut keindahan sebuah perwujudan. ya, kita hanya berkewajiban melaksanakan, tetapi biar Allah yang memilihkan.

Komentar